When people insist to reach their dream
It makes someone couldn't show you how they really love you
"Gimana? Bagus, gak? Gue ngetik semaleman lho, kira-kira menurut lo mereka bakal tertarik gak sama naskahnya?" Sepasang bola mata besar menatap seseorang di hadapannya yang tengah membaca naskah. Pemilik sekaligus pengarang naskah itu Alin. Semaleman ia mengetik naskah cerita sampai jam 1 pagi. Walaupun sudah mencapai 60 halaman Alin gak segan-segan meminta pendapat sekaligus komentar ke Rangga, orang yang tengah membaca naskahnya sekarang.
"Kata-katanya udah lumayan, tapi lo harus menyisipkan kalimat kiasan di sini," ujar Rangga sambil menunjuk beberapa paragraf. "Menurut gue kalo lo mau bikin suasana romantis seenggaknya ada beberapa kalimat kiasan, jadi semakin memperkuat atmosfer diantara kedua tokoh utama ini."
"Hmmm," gumam Alin sambil mengangguk-angguk. "Jadi tinggal menambah kalimat kiasan trus gue bisa ngelanjutin ceritanya lagi?"
"Yep."
"Kira-kira menurut lo gue bisa gak jadi penulis terkenal?" tanya Alin.
"Kalo terkenal gue gak yakin lo bisa," kata Rangga yang langsung diserang pelototan Alin. "Tapi gue yakin lo bisa jadi penulis kayak Esti Kinasih. Karena lo punya selera humor yang gue suka." Tiba-tiba seulas senyum terukir di bibir Alin.
"Hehe, lo emang paling bisa bikin gue ngapung gara-gara pujian lo. Tapi jangan salah ya, gini-gini gue paling anti sama cowok gombal," kata Alin sambil berkacak pinggang. Rangga hanya tertawa.
"Kalo nanti ada cowok romantis yang nembak lo, apa lo mau nerima?" tanya Rangga.
"Tergantung cowok macam apa dulu, kalo kayak Edward Cullen sih gak usah mikir-mikir juga langsung gue terima. Tapi kalo tipe si Doni langsung gue kemplang tu anak. Udah playboy selingkuhannya tiga lagi!" kata Alin berapi-api. Rangga tertawa lepas mendengarnya.
"Parah lo, gitu-gitu Doni tipe yang setia lho."
"Iya, sekalian aja poligami. Jadi mau punya istri lima juga tetep rukun."
"Dan lo mau jadi salah satu istrinya?" tanya Rangga.
"Ya nggak lah! Gila lo."
Dan mereka tenggelam dalam obrolan yang panjang.
***
"Ga! Gue udah beli buku baru nih. Judulnya The Hobbit karya J.R.R. Tolkien. Ini buku sebelum The Lord of The Ring lho. Gue ngebet banget nyari ni buku soalnya rata-rata udah dalam bentuk paket di Gramed. Kebetulan gue nemu di loak. Lo mau minjem, gak? Tapi tunggu gue selesai baca dulu ya," cerocos Alin. Rangga membaca sinopsis di belakangnya.
"Berarti cuma nyeritain Gandalf sama Bilbo doang dong? Males ah, kalo ada Frodo dan lain-lain sih gue mau baca."
"Ah elo belum juga dibaca udah males duluan, gue jamin ceritanya gak kalah seru deh!"
"Ok ok kalo emang seru ntar gue baca biar lo seneng," kata Rangga. Alin hanya tersenyum lebar dan tiba-tiba jantung Rangga berdebar keras. Mungkin ini alasan ia gak pernah nolak kemauan cewek itu. Karena cuma cewek itu yang bisa membuatnya tertawa lepas.
Alin selalu meminta pendapatnya tentang naskah yang ia buat. Akhir-akhir ini cewek itu selalu begadang hanya untuk mengarang cerita. Dan rencananya kalau naskahnya sudah selesai ia mau mencoba ngirim ke redaksi.
Impian Alin dari dulu jadi penulis. Rak bukunya penuh sama novel, dari karya Indonesia asli sampai terjemahan. Gara-gara imajinasi gila para novelis itulah membuat Alin antusias membuat karya pertama. Baginya berimajinasi itu asik. Ia sampai bermimpi jadi penulis terkenal kayak J.K. Rowling lho. Dan Rangga gak bosen-bosen dengerin ocehannya.
"Ga, tahu, gak? Semalem gue mimpi ketemu J.K. Rowling! Serasa ketiban duren itu mah, gue ampe gemeteran lho minta tanda tangannya. Dan yang bikin gue hampir pingsan, pemain Harry Potter juga ada! Gila, kan?"
"Ga, udah baca Fairish belum? Seru lho. Ceritanya emang remaja cewek banget, tapi gue jamin lo pasti suka. Soalnya banyak hal-hal kocak yang bisa bikin lo ngakak. Ntar gue kasih pinjem deh ke lo, tapi lo harus baca, ya?
"Kalo aja tokoh Ari itu bener-bener ada, gue pasti langsung ngincer dia. Biar bandel tapi pinter, gak pernah lepas dari lima besar di kelasnya, gak playboy, trus tajir lagi hihi. Oya, ngomong-ngomong lo udah baca bukunya, kan?"
"Kayaknya otak gue udah terkontaminasi sama virus novel deh, soalnya tiba-tiba gue pengen bikin buku dan niat nerbitin. Kira-kira menurut lo gue bisa gak jadi penulis?"
Beberapa ocehan yang keluar dari mulut Alin membuat Rangga jadi doyan baca. Rangga ingat waktu pertama kali mereka ketemu di MOS. Seorang cewek bertampang polos dengan rambut dikucir dua memperkenalkan dirinya di depan kelas. Dengan tatapan penuh antusias ia bilang pengen jadi penulis terkenal. Rangga juga ingat Alin menawarkan buku padanya waktu mereka duduk berdua setelah Rangga tidak kebagian bangku dan cewek itu menawarkan duduk bersamanya.
Awalnya Rangga pikir Alin tipe cewek bawel, tapi ternyata asik juga diajak ngobrol. Sampai cowok itu menyimpan rasa padanya. Tapi Rangga tidak tahu apa yang dirasakannya sekarang benar atau tidak, karena sepertinya orang itu lebih mementingkan impiannya.
***
Sebulan berlalu dan Alin baru menyelesaikan naskahnya yang sudah mencapai 200 halaman. Sambil tersenyum puas ia membacanya kembali. Selama sebulan ini ia sudah konsultasi sama Rangga buat ngecek naskahnya dan Rangga bilang naskahnya sudah sempurna dan rencananya besok naskahnya mau dikirim ke redaksi. "Mudah-mudahan naskah gue diterima," ujarnya sambil mengusap muka.
***
Alin tengah berdiri di depan gedung Redaksi Gramedia dengan naskah yang dipeluk erat di dadanya. Di sebelahnya berdiri Rangga yang menemaninya. Sudah setengah jam mereka berdiri di sana sambil memandang gedung itu. "Mau masuk, gak? Atau lo mau ngabisin sisa hidup cuma untuk berdiri melototin ni gedung? Kaki gue pegel nih lama-lama," kata Rangga. Alin menatap gedung itu ragu, tapi karena ambisinya yang kuat ia bertekad memberi naskahnya.
"Yuk, masuk, sori ya jadi nunggu lama," kata Alin dan mereka pun masuk ke gedung.
***
"GA! Lo tahu, gak? Naskah gue diterima! Asiiiik!!! Dan katanya bakal diterbitin paling cepet sebulan. Gue udah gak sabar nama gue dipampang di buku hasil karya sendiri hihi," kata Alin histeris. Dan ia bercerita waktu ditelepon sama redaksinya setelah dua minggu berlalu. "Rasanya jantung gue mau copot detik itu juga. Oya, tapi lo harus beli buku gue ya, trus ntar gue kasih tanda tangan ekslusif gitu lho hehe."
"Lo yakin orang lain bakal seneng baca karya lo?" tanya Rangga.
"Dih, kok lo ngomongnya gitu sih? Mestinya kasih semangat gue kek biar lebih rajin lagi ngarang cerita," kata Alin sewot.
"Hahaha gitu aja marah, becanda kali," kata Rangga. "Oya, Sabtu ini lo ada acara, gak?"
"Hmmm, nggak. Kenapa emang?"
"Kita jalan, yuk, sekalian ngerayain karya pertama lo."
"Kayaknya nggak dulu deh, gue mau istirahat. Lagian sekarang ini gue lagi bikin karya kedua jadi istilahnya sambil menyelam minum air."
Mendengarnya Rangga kecewa. "Oh gitu, gapapa, mungkin lain kali."
"Eh, tapi lo gak marah, kan?"
"Nggak kok," kata Rangga lalu pergi meninggalkan Alin sendirian.
***
Rangga termenung di kamarnya. Mulai hari Minggu ia harus siap-siap pindah rumah karena faktor pekerjaan ayahnya yang sering pindah tempat. Biasanya Rangga gak keberatan sering pindah sekolah, tapi entah kenapa ia gak mau pindah sejak masuk SMA kelas satu. Sejak ia bertemu Alin. Tadinya ia ingin menyampaikan perasaannya ke cewek itu sebelum pindah, tapi sayangnya Alin lebih mementingkan hobinya. Kalo aja cewek itu mau meluangkan sedikit waktunya untuk menemaninya jalan-jalan, mungkin perasaannya sedikit lebih tenang.
Tiba-tiba ada SMS dari Alin.
Gak sabar nunggu buku gue terbit. Ntar kita rayain bareng-bareng. Tapi lo harus beli ya, awas kalo nggak! Hihi.
Rangga membaca SMS itu dengan pandangan kosong. "Sori, Lin, kayaknya gue gak bisa ikut ngerayain karya pertama lo," gumamnya sambil memejamkan mata.
***
Sebulan berlalu dan buku Alin terbit. Seharusnya ia senang bukunya terbit dan sudah dipasarkan ke toko buku, tapi kali ini ia kecewa. Sudah hampir sebulan lebih Rangga pindah sekolah dan ia baru tahu infonya dari temen sekelas tiga hari setelah cowok itu gak masuk. Ia benar-benar kecewa, kalo aja Rangga bilang mau pindah mungkin ia bakal bikin pesta farewell kecil-kecilan. Tapi tu cowok malah ngilang tahu ke mana dan sumpah bikin ia kesal.
Tiga tahun berlalu dan Alin sudah menjadi mahasiswi sekarang. Di usianya yang masih 20 tahun ini ia sudah menerbitkan beberapa buku. Karyanya cukup laris dan semakin membuat dirinya semangat menulis. Sore itu sepulang kuliah ia sempatkan ke Gramedia untuk melihat karya barunya yang kesepuluh dan baru diterbitkan hari ini.
Ia tersenyum lebar begitu melihat bukunya terpampang di sana. Diambilnya satu bersamaan dengan seseorang yang juga mengambil bukunya. Alin sempat teriak melihat orang yang baru saja mengambil bukunya, tapi hanya pekikan tertahan yang keluar dari mulutnya. "Rangga!"
Cowok itu pun sempat kaget melihatnya dan berusaha menenangkan diri. "Hai, apa kabar?"
"Ini beneran elo? Rangga yang dulu sebangku sama gue?" tanya Alin tidak percaya.
Sebagai jawaban Rangga hanya mengangguk.
"Lo ke mana aja? Tiba-tiba ngilang gak jelas, mestinya lo bilang kalo mau pindah. Udah gitu gak SMS sama sekali lagi, gue kira lo udah ngelupain gue," cerocos Alin dan Rangga hanya tertawa.
"Malah ketawa lagi! Lo harusnya minta maaf udah ninggalin gue gitu aja."
"Sori, abis lo gak berubah dari dulu. Masih bawel aja, gue kira bakal jaim abis jadi penulis terkenal," kata Rangga.
Merasa gak terima, Alin cemberut.
"Iya sori, gue emang pindah waktu itu dan sengaja gak ngasih tahu elo," jelas Rangga.
"Kenapa?"
"Karena gue tahu lo lebih seneng ngurusin naskah ketimbang nemenin gue jalan hari Sabtu."
Serasa ketiban palu Alin sadar. "Jadi maksud lo ngajak gue jalan waktu itu..."
Sebagai jawaban Rangga hanya tersenyum, sedangkan Alin cuma bisa nyengir kuda sebagai rasa bersalah.
"Trus gue mesti gimana buat ngebayar kesalahan?"
"Lo harus nemenin gue makan. Mau, ya?"
***
"Sebenernya ada yang mau gue omongin dari dulu," kata Rangga ketika mereka sedang makan di sebuah restoran. Alin hanya diam mendengarkan.
"Lin, lo tahu kenapa gue gak pernah mau pindah bangku dulu? Padahal temen cowok lain udah nawarin bangku kosong buat gue."
Alin hanya diam tidak mengerti.
"Dulu gue dengan senang hati baca naskah lo padahal waktu itu lagi banyaknya tugas yang harus gue kerjain."
Kali ini alis Alin mengerut.
"Gue seneng kalo lo udah ngoceh nyeritain buku yang udah lo baca padahal gue yakin abis itu lo pasti nyuruh gue baca lagi."
Dan Alin hanya diam.
"Dan gue seneng kalo ngeliat lo tersenyum. Menurut gue lo satu-satunya cewek yang bisa bikin gue ketawa lepas."
Mereka berdua saling diam tapi jauh di dalam hatinya, Alin merasa jantungnya berdetak lebih keras dari biasanya.
"Sayangnya lo lebih mentingin impian yang lo raih, gue kira gue gak bisa nyampein ini tapi gue rasa gak ada salahnya juga kalo ngomong sekarang," Rangga menarik napas dalam-dalam sebelum mengatakan, "Alin, gue suka sama lo."
Rasanya detik itu juga waktu berhenti berputar. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Rangga tidak tahu apa yang Alin pikirkan saat ini. Dan seakan jantungnya mau copot Rangga mendengar cewek itu bilang, "Gue juga suka sama lo". TAMAT.
Holla there! Wiw akhirnya karya ketiga gue keluar juga hihi. Hmmmm mungkin masih harus ada perbaikan dalam menulis dan alur ceritanya. Berhubung gue ngetiknya malem jadi mohon maklumin aja ya, kan kesannya sambil nahan ngantuk gitu deh *alesan -_-*. Ok see you next time!