Daisypath Happy Birthday tickers

Daisypath Happy Birthday tickers

Minggu, 24 Februari 2013

Pertemuan

Menyesap capuccino sambil menikmati pemandangan hujan di luar merupakan hal yang sangat menyenangkan. Hawa dingin sekaligus sejuk menyelusup ke dalam baju hangat yang kupakai hari ini. Cuaca hari ini cukup membaik dari hari kemarin, itu yang kudengar di televisi di salah satu kafe yang sering kukunjungi. Meja nomor 3, adalah yang menjadi favoritku sejak pertama kali datang ke sini. Alasannya mudah, di sini aku bisa melihat pemandangan luar walau hanya sebatas jalan raya yang setiap harinya sesak dengan kemacetan. Dengan disekat sebuah kaca besar memanjang dari pintu masuk hingga meja belakang nomor 7.

Di sini aku selalu menghabiskan waktu senggang sambil menikmati kehangatan capuccino, minuman favoritku atau mengerjakan tugas kuliah dengan laptop. Untung hari ini momennya pas, karena dua hal yang menjadi salah satu komponen favoritku dipertemukan di waktu yang sama: hujan dan capuccino. Mataku menelusuri aktivitas orang-orang di luar, hilir mudik tak tentu arah satu sama lain. Membuatku seperti menonton sebuah film. Mereka tidak ada yang saling menyapa walau banyak kerumunan orang di sana. Sibuk dengan urusannya masing-masing. Pikiranku melayang jauh.

Meskipun besar kemungkinan mereka akan bertemu lagi di kemudian hari, tapi kecil kemungkinan untuk hafal setiap wajah yang mereka temui hari ini. Ya, seperti itu lah pemikiranku saat ini. Sudah lama aku datang ke kafe ini dan aku hafal orang-orang yang sering berkunjung ke sini. Orang tua yang duduk di pojok sana, tepatnya meja nomor 13, ia selalu sibuk dengan kegiatan menulisnya. Entah apa yang ia tulis tapi aku tahu ia sedang menulis teka-teki silang. Terlihat sewaktu ia keluar setelah selesai makan sambil menenteng buku itu di tangannya. Wajahnya sangat serius tapi terlihat tenang. Sekali-sekali ia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.

Lalu wanita karir yang duduk di meja nomor 9, posisinya berada persis dekat kasir. Sama sepertiku, ia sering berkunjung ke sini sambil membawa laptop dan mulai sibuk begitu selesai memesan minuman. Dilihat dari baju formalnya, dugaanku sepertinya ia seorang pengusaha di salah satu perusahaan terkenal di kota ini. Rambutnya yang panjang terurai lemas di punggungnya, berwarna coklat kemerahan, sepadan dengan garis mukanya yang tirus. Dan dugaanku benar, aku melihatnya keluar dari salah satu gedung yang menjual peralatan kosmetik dan aku tahu kosmetik yang mereka jual bukan sembarang kosmetik.

Ada pun beberapa anak sekolah yang selalu berkunjung ke sini dengan bergerombol. Meski tidak sampai sepuluh orang, tapi empat. Mereka selalu memesan minuman dan snack yang sama. Setelah itu ngobrol sambil sesekali tertawa. Mereka semua anak laki-laki, kadang salah satunya membawa notebook pribadi sambil mengerjakan tugas sekolah. Aku hafal wajah-wajahnya. Misalnya yang membawa notebook pribadi memiliki bentuk wajah bundar dengan kacamata yang selalu bertengger di hidungnya. Temannya yang duduk di sebelahnya berbadan kurus tinggi, kedua bola matanya coklat gelap dan telinganya agak sedikit lancip. Dua orang di hadapannya adalah kembar, wajah berbintik, hidung mancung, postur keduanya tidak lebih tinggi dari si mata coklat. Ekspresi si kembar terlihat nakal, tipe yang senang bercanda dan usil. Sedangkan si mata coklat menanggapi gurauan si kembar dengan semangat dan si wajah bundar sesekali menanggapinya lalu kembali sibuk dengan notebooknya.

Masih banyak lagi orang-orang di sekitar sini yang sering kutemui. Tapi sama halnya dengan di luar, tidak ada satupun dari mereka yang saling menyapa walau sama-sama sering berkunjung. Bisa dibilang aku pribadi yang berpikir kritis. Semua pertanyaan menumpuk di otak, mencoba mencari-cari jawabannya. Orang kota selalu berindividu, aku tahu. Tapi yang kulihat saat ini mereka cenderung cuek. Meskipun aku sering melihat orang tua yang selalu membawa catatan pribadinya itu berkunjung ke sini, tidak pernah kami saling menyapa atau bertukar cerita dan pengalaman. Karena mindset mereka sama: privasi.

Aku kembali melihat ke luar, melamun dengan secangkir capuccino di tangan, menikmati kehangatan yang mulai menjalar sampai ke pergelangan. Tiba-tiba suara seseorang membuat lamunanku buyar. "Maaf, boleh aku duduk di sini? Tempat lain sudah penuh," ujar orang itu, wajahnya terlihat pucat dan penampilannya basah kuyup. Sepertinya ia kedinginan, pikirku. Seluruh tubuhnya terbungkus oleh jas hitam panjang nyaris sampai lutut. Aku melihat sekeliling, hari ini kafe lumayan ramai. Aku menoleh ke arahnya dan menjawab, "Ya, boleh."

"Terima kasih!" ujarnya lalu duduk di hadapanku dan membuka jasnya yang basah kuyup itu dan disandarkannya di kursi sebelahnya. Kini ia hanya mengenakan kemeja lengan pendek warna biru gelap dan celana jeans senada. Seorang pelayan datang menghampirinya dan menanyakan pesanan. Aku kembali menyesap capuccino yang sudah dingin karena AC ketika pandanganku bertemu dengannya. Laki-laki di hadapanku, ternyata ia sudah selesai memesan dan sekarang tengah memandangku dengan tatapan yang mencurigakan.

"Kau sering ke sini, ya?" tanyanya. Kujawab dengan anggukan, lalu bertanya padanya, "Bagaimana kau bisa tahu?" Sambil mengalihkan pandangan ke luar. "Rasanya aku tidak pernah melihatmu makan di sini."

Laki-laki itu menjawab, "Yah, memang tidak sering, tapi aku selalu makan di sini dan setiap kali ke sini pemandangan pertama yang kulihat adalah kau," lugasnya. Aku sedikit terkejut mendengarnya, lalu masih sambil memandang ke luar aku menjawab, "Aku memang suka duduk di sini, kurasa wajar kalau kau sering melihatku karena aku sering datang ke sini." Laki-laki itu kemudian terkekeh, membuatku semakin tidak nyaman berlama-lama di sini. Sebisa mungkin aku tidak ingin bertatap muka dengannya. Dan aku baru sadar kalau ternyata berindividu lebih baik daripada berbicara dengan orang yang tidak kukenal di kota.

"Hei, setidaknya tatap aku, kita kan sedang ngobrol," ujarnya. Jujur, lama-lama aku ingin cepat-cepat keluar dari sini. "Oh ya, aku lupa mengenalkan diri. Namaku Nathan, senang berkenalan denganmu." Tangannya terulur ke arahku. "Dan.. namamu?"

"Hani," jawabku sambil menyambut uluran tangannya. Laki-laki itu tersenyum lebar setelah tangan kami saling bertautan. Baru kusadari warna matanya kelabu, salah satu warna favoritku. "Senang berkenalan denganmu," sambutku hangat. Sepertinya aku mulai tertarik untuk berbicara dengannya. Seorang pelayan membawa secangkir teh panas dan sepiring sandwich padanya. Nathan mengucapkan terima kasih lalu menyesap tehnya sedikit untuk menghangatkan bibirnya yang sudah beku dari tadi.

"Jadi aku benar selama ini, perempuan yang sering kulihat makan di meja 3 adalah orang yang sama," ia kembali membuka percakapan. Sekarang wajahnya sudah tidak pucat lagi setelah minum teh, rona merah mulai terlihat di kedua pipinya yang tirus.

"Kenapa kau memilih duduk di sini? Bukankah orangtua yang duduk di sana juga sendirian? Kau bisa lebih nyaman kalau ngobrol dengannya karena sesama lelaki," tanyaku sambil menunjuk meja nomor 13.

Sambil melahap sandwichnya ia bilang, "Tidak, dia terlalu membosankan untukku. Meski sesama lelaki tapi kalau berbeda umur pasti membosankan." Aku terperangah mendengarnya. Memang benar sih, orang itu tidak pernah bicara kecuali sewaktu memesan makanan lalu kembali sibuk dengan teka-teki silangnya. Aku tidak pernah melihatnya makan bersama istrinya atau anaknya. Ia selalu sendirian. Entah kenapa penilaianku terhadap Nathan berubah. Ia memiliki daya tarik tersendiri meskipun kami baru saja kenalan.

"Alasanku memilih duduk bersamamu karena hanya ada tiga orang yang duduk sendiri termasuk kau. Seperti yang kubilang kalau aku tidak ingin duduk bersama orang tua di meja nomor 13 itu, dan aku tidak tertarik duduk bersama wanita bisnis di meja nomor 9. Kupikir hanya akan mengganggu kesibukannya kalau duduk dengannya." Tanpa sadar aku tertawa.

"Penilaianmu bagus juga," pujiku. Kuakui ia memiliki kemampuan menilai prilaku seseorang dari tingkah lakunya meskipun aku tidak pernah melihat ia makan di sini.

"Jadi, kau suka menyendiri di sini, ya?" tanya Nathan yang sudah menyantap suapan terakhirnya.

"Ya, aku suka menghabiskan waktu senggang di sini. Menurutku sangat menyenangkan, apalagi di luar hujan, membuatku ingin lebih lama di sini sambil menikmati capuccino," kataku. Nathan mengangguk pelan sambil berpikir-pikir, membuatku semakin penasaran ingin bertanya tentang pekerjaannya. "Kau seorang psikolog, ya?" Pertanyaanku cukup membuat matanya terbelalak lebar, lalu ia terkekeh.

"Kenapa berpikir begitu? Tidak, aku bukan psikolog, tapi fotografer," jawabnya. "Pasti menurutmu aku bisa dengan tepat menilai tingkah laku seseorang."

"Ya, kupikir juga begitu," kataku, "tapi unik juga, dari mana seorang fotografer bisa menilai tingkah laku seseorang?" Karena aku mahasiswi fakultas psikolog, jadi menurutku wajar kalau aku bertanya padanya. Nathan mengeluarkan sebuah kamera dari dalam tasnya. "Tentu saja dengan ini," ujarnya. "Kau pikir aku menggunakan apa selain ini? Peramal?"

Aku meringis, "Tentu saja kau menggunakan kamera, maksudku.. ah, bagaimana menjelaskannya, ya..." Aku menggaruk belakang kepalaku yang tidak gatal. Nathan tersenyum, lalu ia mengutak-atik kameranya dan memperlihatkannya padaku. "Lihat ini," perintahnya. Aku melihat gambar seorang wanita berbaju formal dan berambut panjang merah kecoklatan dengan laptop di hadapannya. Ekspresinya terlihat sangat serius, membuat orang segan menemaninya duduk dan mengajaknya ngobrol. Itu wanita karir meja nomor 9.

"Ini kuambil pada hari Jumat seminggu yang lalu. Aku bermaksud mencoba mengambil gambar suasana kafe dan aku mengambil beberapa objek di sini termasuk penjaga kasir yang selalu memainkan handphonenya selagi menunggu tamu yang mau membayar," jelasnya. Kurasa aku mengerti maksud Nathan sekarang. Nathan memperlihatkan hasil karyanya yang lain. Kali ini aku dibuat terkejut olehnya. Itu aku. Sedang melihat ke luar dengan secangkir capuccino di tangan. Persis di meja ini.

"Aku pernah bilang kan, sejak pertama datang ke sini pemandangan pertama yang kulihat adalah kau," ujarnya, "Menurutku ekspresimu menarik, duduk seorang diri tanpa melakukan apapun sambil melihat ke luar. Di mataku seperti seorang gadis yang sedang menunggu kekasihnya yang tak kunjung datang." Aku tak percaya mendengarnya. Aku memang menunggu seseorang waktu itu, tapi bukan pacar. Kami janjian untuk membahas makalah kuliah yang harus dikumpulkan hari Senin. Nathan mengganti fotonya lagi dan muncul gambar diriku yang sedang berbicara dengan laki-laki. Dia Agus, teman kuliahku. Tatapannya beralih dari foto lalu memandangku.

"Jadi dia pacarmu?" tebaknya yakin. Aku tersenyum mendengar tebakannya yang salah.

"Bukan, dia hanya teman kuliah. Kami memang janjian di sini untuk membahas tugas," kataku. "Kau sangat profesional juga menjadi fotografer." Aku mulai melihat foto yang lain. Orang tua yang di meja nomor 13, sepasang kekasih tengah bercengkerama di meja nomor 11, seorang ibu dengan anaknya, wanita karir, pelayan yang sedang melayani tamunya, dan lain-lain. "Jadi kau menilai tingkah laku  mereka hanya dengan ini?"

"Bisa dibilang begitu, dari dulu aku menyukai fotografi," jawabnya."Aku melihat semua objek memiliki atmosfer tersendiri. Tidak hanya manusia atau hewan, benda mati pun memiliki nyawa kalau kau memerhatikannya lebih seksama." Aku mengagumi gambar-gambar yang diambilnya. Semua seakan memiliki nyawa. Aku memang tidak begitu mengerti soal fotografi, tapi entah kenapa melihat setiap objek yang ia ambil membuatku paham maksudnya.

"Kau bilang jarang ke sini, tapi kenapa setiap melihat foto-foto ini membuatku berpikir kau sering makan di sini, ya?" Nathan berpikir cukup lama, mencoba menemukan alasan yang tepat, lalu menjawab, "Mungkin karena aku sudah tiga kali makan di sini." Jawaban yang logis, pikirku.

Hujan sudah mulai reda dan hanya beberapa rintik hujan yang tertinggal. Sinar matahari menyelinap masuk dari balik awan. Waktu menunjukkan jam 4 sore, sudah cukup lama aku di sini dari jam 2 siang. "Sepertinya hujan sudah reda, sayang sekali pembicaraan kita hanya sampai di sini. Aku harus kembali ke pekerjaanku sebelum gelap. Senang berbincang denganmu, Hani, kuharap kita bertemu lagi di lain waktu." Nathan memasukkan kamera ke dalam tas dan menghabiskan tegukan terakhir tehnya dengan gerakan cepat. Sebelum membayar ia tersenyum padaku lalu berjalan ke kasir.

Hari itu, pertama kalinya aku berbicara dengan salah satu pengunjung di kafe ini. Ya, dari sekian banyaknya orang di sini. Aku tidak tahu apakah nanti akan bertemu dengannya lagi di sini atau tidak. Karena kami kurang lebih sama seperti orang-orang di luar sana. Aku beranjak bangun dan berjalan menuju kasir untuk membayar, lalu keluar menuju halte bis. Sepertinya tadi itu adalah awal pertemuanku dengan Nathan, orang pertama yang berbicara denganku di kafe.

Bersambung.

Sabtu, 23 Februari 2013

Flower Arrangement

Inget di postingan gue sebelumnya kalo gue pengen berbaring sambil dikelilingi bunga warna-warni? Ternyata menjadi kenyataan lho. Tapi pengecualiannya gue gak berbaring di antara bunga-bunga itu. Jadi sebenernya hari ini gue masih ujian praktik merangkai bunga. Gak tahu kenapa pas ngeliat bunga-bunga ini jadi inget sama postingan gue sebelumnya. Yah, gak penting juga sih hahaha.

Back to exam. Sebenernya merangkai bunga itu gampang-gampang ribet, cuma ada satu syarat untuk mendapatkan hasil yang memuaskan --> pake perasaan. Itu yang gue denger dari asesornya. Karena gue bukan salah satu dari mereka yang pecinta bunga, jadi gue ngerjainnya gak terlalu pake perasaan. Yang gue pikirin gimana caranya biar cepet beres sementara waktu yang dikasih cuma 30 menit.    

Dan akhirnya gue baru beres di menit ke 27 dan detik ke 16. Kalo dipikir-pikir waktu serasa cepet banget, dan secara logika padahal cuma nyusun beberapa bunga di oasis tapi kok lama juga ya gue ngerjainnya? Yang dinilai dari ujian ini yaitu bentuk dari rangkaian bunga tersebut: harus bentuk oval. Karena sebelumnya udah dikasih tahu cara-caranya, alhamdulilah ngerjainnya lancar. Hasilnya? Eng ing eng!





























Untuk kartu ucapannya


Bisa dibilang muka gue kelihatan banget capeknya, apalagi masih ada ujian praktik kejuruan yang lain: skirting. Kalo ini wallahualam deh. Gue rasa dibanding skirting, masih mendingan merangkai bunga. Yah gue sih berdoa aja semoga skirtingnya lancar, lipatan kainnya gak terbalik satu sama lain dan yang penting diantara yang penting dari skirting ini yaitu mejanya gak terlalu keras, udah ribet sama kain soalnya. Kayaknya ntar gue bakal bawa palu buat nancepin paku payungnya.

Pokoknya mah tetep cheer up, Mer!

Kamis, 21 Februari 2013

Nihil

Hai, Gy.. dari kemarin suasana hati gue kosong. Gak tahu kenapa, rasanya pengen ngungsi ke tempat yang jauh. Menyendiri. Menghindar dari kerusuhan, kesibukan, dan kejenuhan. Kalau aja gue punya pintu ke mana saja kayak Doraemon, mungkin gue udah di suatu tempat yang saaaaaaanngaaat jauh. Yang bahkan orang-orang pun gak bisa nemuin gue di mana. 

Gue pengen menghirup udara segar di ladang hijau yang luas, berbaring sambil dikelilingi bunga warna-warni, ngerasain angin sepoi-sepoi... Iya, semua itu ada dalam khayalan gue yang sangat gue harapkan menjadi kenyataan. Ladang hijau, bunga-bunga, angin sepoi. Tapi pada akhirnya, tempat pelarian gue cuma Gramed -_-. 

Bukan, bukan buku-buku yang gue butuh sekarang, bukan Naruto atau hiburan lain. Gue cuma pengen sendiri, gak ada orang lain yang tahu. Kalo bisa gue pengen ke gunung, teriak-teriak kayak orang gila atau nangis tiba-tiba, gak peduli apapun itu. Gue pengen ngeluapin emosi. Tapi gimana? Gimana caranya biar gue bisa ke sana? Dan pada akhirnya jawaban yang gue dapet nihil.

Sabtu, 16 Februari 2013

Cooking flashback

Hari ini untuk yang terakhir kalinya praktik masak. Iya, tadi itu merupakan praktik masak yang terakhir setelah tiga tahun masak di dapur sekolah. Dan sejujurnya gue gak 'ngeh sama perasaan itu, seolah-olah minggu depan masih masak lagi di dapur Jasa Boga, dapur Gizi, Produksi atau Boga Dasar. After all I still feelin' that moment. 

Dimulai dari momen tiap ujian praktik kejuruan, hal pertama yang sering kami lakukan yaitu nyusun Job Sheet yang isinya susunan menu, daftar belanja, menghitung harga jual, alat apa aja yang diperlukan plus piring untuk menghidang, dan yang terakhir meyusun tertib kerja. Perasaan yang muncul tiap mau ujian, gue selalu dilema tiap malem, mikirin besok harus bangun pagi buat prepare bahan yang mau dibawa, trus lanjut ke langkah pertama yang mesti gue lakuin pas mulai praktik, makanan apa dulu yang mesti gue bikin, berusaha rileks biarpun keteteran tiap ngeliat jam, daaaan lain-lain.

Bisa dibilang prosesnya itu loh yang gak nahan, rasanya pengen cepet-cepet beres, pengen cepet-cepet lulus biar gak dibayang-bayangin sama ujian lagi, dan ujug-ujug TING! semua hilang, udah gak ada lagi belanja sama temen kelompok masak, gak ada lagi ngejual makanan, gak ada lagi bikin roti, kue, dan segala macem. Berhubung hari ini terakhir masak, gue abadikan masakan terakhir gue di sini. Biar nanti bisa nostalgia, mengingat atmosfer dapur maupun aroma semerbak selama praktik. Here we go!

Huzarn salad, Cream of Mushroom soup, Fillet of Fish Meuniere, and Strawberry Pudding





























Oya, ini waktu gue masak di kelas 1. Hihi, inget banget waktu bikin semur daging gue sama Arif malah masukin cabe merah padahal kan harusnya rasanya manis -_-. Maklum, masih buta soal makanan soalnya.

Nasi Goreng spesial dan Semur

Ujian praktik pertama: Puding Jambu!

Sayangnya cuma segitu poto yang gue punya pas di kelas 1. Sekarang lanjut ke kelas 2.

Waldorf salad and Beef Sausage salad

Drum Stick and Cheese Potatoe Croquete

Chicken Maryland, Houngarian Goulash and Fried Fish Al'Orly












Ini waktu di kelas 3, bikin Chocolate Chiffon Cake sama Fruit tartlet.

\(>w<)/

Sabtu, 09 Februari 2013

Oli's birthday

Hai bloggy, topik gue kali ini bukan lagi tentang magic day atau cucian. Ulang tahun Oli! Sebenernya gue telat banget ngerayainnya, secara ini udah bulan Februari sedangkan Oli ulang tahunnya tanggal 28 Januari. But never mind lah, yang penting gak ada kata telat buat ngasih kado. Gue sama Zain udah berunding bakal ngasih apa buat kado nanti, cuma timingnya aja yang lumayan ngaret. Apalagi jadwal gue yang makin padet mau ujian semakin menghambat buat beli kado.

Jadi baru hari ini bisa ngucapinnya, sori yaaa. Sayangnya Zain gak bisa ikut ngerayain dikarenakan masih di Hasmi dan belum tahu kapan pulangnya. Jadi paginya gue buru-buru ke suatu tempat buat beli kado dan kue plus lilin. Untung udah tahu bakal ngado apa, jadi gak mesti pusing keliling-keliling nyarinya. Abis semuanya udah lengkap gue langsung cus ke Ciomas, ke tempat kediaman beliau *maklum, kan sekarang Oli udah 18 tahun sedangkan gue lebih muda di bawahnya kikikikikikik*.

Awalnya syok ngeliat dia lagi jalan ke rumahnya sedangkan gue yang waktu itu baru balik abis beli kue bingung mau ngumpetin kuenya dimana. Kadonya juga belum dibungkus lagi. Untungnya gue naik becak, jadi bisa sedikit menutupi muka gue. Gimana caranya? Pikir aja sendiri *ihi ihi*.

Abis turun dari becak gue langsung ngacir masuk rumah, takut Oli liat gue bawa kue, kan ntar jadi gak surprise namanya. Gue buru-buru bungkusin kadonya sama nyiapin lilin abis itu langsung cus ke rumahnya. As I thought, she was surprised.


Akhirnya kesampean juga ngasih kado haha. Kue yang gue beli enak banget, untung gak salah pilih. Rainbow cake pula *trus kenapa? -_-* Harapan gue di ulang tahunnya yaitu semoga diterima kuliah di FEUI, she said she fond of Sri Mulyani dan berharap bisa seperti beliau. Terus tetep semangat belajar buat ngeraih cita-cita, dan yang terakhir semoga kita bertiga bisa tetep bersama walaupun cuma bisa main sebulan, dua bulan, atau tiga bulan sekali. Amiiin. 



HAPPY 18th OLI!
(Rina & Zain)

Minggu, 03 Februari 2013

Magic gift

"Malem minggu aye pergi liat Jio..."

Hari ini untuk yang kedua kalinya gue sama kru lain (Anis dan Ajeng maksudnya) dateng ke lokasi syuting Magic. Berhubung tamu utamanya minggu kemarin lagi sakit, so kami berencana bakal dateng lagi biar bisa poto bareng Jio yang ternyata nama aslinya adalah Giorgino Abraham. Dan untuk kunjungan yang kedua kalinya, kali ini kami gak pake acara jalan kaki dari balkot ampe lokasi *maklum gempor*.

Awalnya kami kira gak diijinin masuk karena pagernya ditutup. Kesan pertama yang Ajeng rasain mungkin bete soalnya harapan untuk bisa poto bareng sama Jio lagi-lagi terhambat. Tapitapitapi tiba-tiba hal yang tidak diduga-duga muncul, salah satu kru atau bisa jadi sutradara sinetron Magic ini ngeliat kami dan dengan pandangan yang mengisyaratkan 'kayaknya gue kenal lo deh' tiba-tiba tersenyum dan Ajeng *masih dengan isyarat* nanya boleh masuk apa nggak. He said, "Boleh asal gak rame-rame".

Kesempatan itu langsung kami ambil dan langsung cus masuk ke dalem biarpun dengan modus ke mushola barang sebentar abis itu modus pura-pura kebelet pengen ke kamar mandi. Ok ini berlebihan banget aktingnya tapi meskipun begitu misi tetap berjalan lancar. Orang pertama yang kami poto yaitu Putri Titian, trus lanjut Adi Pura, Lucky Perdana, Bobby Joseph dan Nasya Marcella.




Udah puas sama mereka kami nunggu tamu utamanya, siapa lagi kalo bukan Jio? Sore itu sambil harap-harap cemas kami nungguin dia gak muncul-muncul. Ajeng udah frustasi, gue sama Anis gak tahu Jio lagi syuting di mana. Akhirnya nanya ke kru lain dan katanya lagi di PGB. Ok ini ngeselin banget, tahu gitu tadi kami mampir dulu ke PGB jadi gak usah jalan dua kali. Tapi gapapa, justru dia yang kami incer dari kemarin dan kami penasaran pengen ketemu.

Di PGB ada Jio sih, tapi RAME dan susah buat kami take pict sama dia. Apalagi dia lagi syuting, gak bisa diganggu. Kami tunggu dia break tapi gak lama kemudian dia ngilang. Ajeng udah bete, udah malem, sekitar jam 7 kurang Jio gak muncul-muncul. Akhirnya Ajeng bilang pengen pulang aja, tapi lagi-lagi kejadian random terulang kembali. Bapak kru yang tadi sempet nyapa kami ada di sana dan dia 'ngeh liat kami.

He said, "Udah di sini lagi aja, perasaan tadi masih di sekolah." Gue bersyukur banget muka Ajeng gampang diinget meskipun bapak kru tahu Ajeng dari tahi lalat di pipinya hehehehehe *nyengir kuda*. Kami nanya Jio di mana dan bapak krunya bilang dia udah balik ke sekolah. 

JEGERRR.
Bete, kesel, frustasi, gue gak ngerti sama skenario hari ini. Cuma pengen ketemu sama satu orang aja kok susah banget ya? Ini sih bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian namanya. Gue anggep ini sebagai uji kesetiaan fans terhadap idolanya. Kami balik lagi ke sekolah dan beberapa orang di sana bilang artisnya lagi pada di tempat lain. 

Kami samper ke lokasi lain dan mereka ada di sana. Kami minta ijin masuk sama krunya buat ketemu Jio dan kami disuruh masuk ke dalem rumah. Gue seneng banget ternyata krunya ramah juga. Kami nunggu di teras, krunya nyamperin Jio, bilang kalo ada yang pengen ketemu sama dia. Jio bilang sebentar soalnya dia lagi makan. Ok kami tetep sabar nunggu kok *padahal kaki udah gempor*.

Daaan gak lama kemudian Jio keluar! Dia bilang maaf udah nunggu lama, trus tiba-tiba Anis nyeletuk, "Kak, temenku ngefans berat lho sama Kakak ampe nangis-nangis." Ekspresi Ajeng jangan ditanya lagi, asli merah! Bisa dibilang perasaannya waktu itu bahagia campur malu kali, ya. Lucunya lagi, Kak Jio nanggepin sambil mesem-mesem. He was pretty funny. Gue baru ngerti kenapa Ajeng suka sama dia.

Kesan yang gue dapet begitu ketemu Kak Jio yaitu dia ramah, humoris, dan tinggi. Momen yang paling bikin kami shocking yaitu pas mau take pict. Tiba-tiba, dengan gerakan halus tapi pasti Kak Jio ngerangkul Ajeng! Berhubung ini momen yang ditunggu-tunggu, kami beri kesempatan buat Ajeng poto berdua sama Kak Jio. Exclusive. Trus ngobrol sebentar dan gantian gue sama Anis yang poto bareng.




Udah kesampean poto bareng, kami langsung cus pulang. Sekali lagi gue anggep hari ini bener-bener magic. What a GREAT GREAT day! >w<