Menyesap capuccino sambil menikmati pemandangan hujan di luar merupakan hal yang sangat menyenangkan. Hawa dingin sekaligus sejuk menyelusup ke dalam baju hangat yang kupakai hari ini. Cuaca hari ini cukup membaik dari hari kemarin, itu yang kudengar di televisi di salah satu kafe yang sering kukunjungi. Meja nomor 3, adalah yang menjadi favoritku sejak pertama kali datang ke sini. Alasannya mudah, di sini aku bisa melihat pemandangan luar walau hanya sebatas jalan raya yang setiap harinya sesak dengan kemacetan. Dengan disekat sebuah kaca besar memanjang dari pintu masuk hingga meja belakang nomor 7.
Di sini aku selalu menghabiskan waktu senggang sambil menikmati kehangatan capuccino, minuman favoritku atau mengerjakan tugas kuliah dengan laptop. Untung hari ini momennya pas, karena dua hal yang menjadi salah satu komponen favoritku dipertemukan di waktu yang sama: hujan dan capuccino. Mataku menelusuri aktivitas orang-orang di luar, hilir mudik tak tentu arah satu sama lain. Membuatku seperti menonton sebuah film. Mereka tidak ada yang saling menyapa walau banyak kerumunan orang di sana. Sibuk dengan urusannya masing-masing. Pikiranku melayang jauh.
Meskipun besar kemungkinan mereka akan bertemu lagi di kemudian hari, tapi kecil kemungkinan untuk hafal setiap wajah yang mereka temui hari ini. Ya, seperti itu lah pemikiranku saat ini. Sudah lama aku datang ke kafe ini dan aku hafal orang-orang yang sering berkunjung ke sini. Orang tua yang duduk di pojok sana, tepatnya meja nomor 13, ia selalu sibuk dengan kegiatan menulisnya. Entah apa yang ia tulis tapi aku tahu ia sedang menulis teka-teki silang. Terlihat sewaktu ia keluar setelah selesai makan sambil menenteng buku itu di tangannya. Wajahnya sangat serius tapi terlihat tenang. Sekali-sekali ia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
Lalu wanita karir yang duduk di meja nomor 9, posisinya berada persis dekat kasir. Sama sepertiku, ia sering berkunjung ke sini sambil membawa laptop dan mulai sibuk begitu selesai memesan minuman. Dilihat dari baju formalnya, dugaanku sepertinya ia seorang pengusaha di salah satu perusahaan terkenal di kota ini. Rambutnya yang panjang terurai lemas di punggungnya, berwarna coklat kemerahan, sepadan dengan garis mukanya yang tirus. Dan dugaanku benar, aku melihatnya keluar dari salah satu gedung yang menjual peralatan kosmetik dan aku tahu kosmetik yang mereka jual bukan sembarang kosmetik.
Ada pun beberapa anak sekolah yang selalu berkunjung ke sini dengan bergerombol. Meski tidak sampai sepuluh orang, tapi empat. Mereka selalu memesan minuman dan snack yang sama. Setelah itu ngobrol sambil sesekali tertawa. Mereka semua anak laki-laki, kadang salah satunya membawa notebook pribadi sambil mengerjakan tugas sekolah. Aku hafal wajah-wajahnya. Misalnya yang membawa notebook pribadi memiliki bentuk wajah bundar dengan kacamata yang selalu bertengger di hidungnya. Temannya yang duduk di sebelahnya berbadan kurus tinggi, kedua bola matanya coklat gelap dan telinganya agak sedikit lancip. Dua orang di hadapannya adalah kembar, wajah berbintik, hidung mancung, postur keduanya tidak lebih tinggi dari si mata coklat. Ekspresi si kembar terlihat nakal, tipe yang senang bercanda dan usil. Sedangkan si mata coklat menanggapi gurauan si kembar dengan semangat dan si wajah bundar sesekali menanggapinya lalu kembali sibuk dengan notebooknya.
Masih banyak lagi orang-orang di sekitar sini yang sering kutemui. Tapi sama halnya dengan di luar, tidak ada satupun dari mereka yang saling menyapa walau sama-sama sering berkunjung. Bisa dibilang aku pribadi yang berpikir kritis. Semua pertanyaan menumpuk di otak, mencoba mencari-cari jawabannya. Orang kota selalu berindividu, aku tahu. Tapi yang kulihat saat ini mereka cenderung cuek. Meskipun aku sering melihat orang tua yang selalu membawa catatan pribadinya itu berkunjung ke sini, tidak pernah kami saling menyapa atau bertukar cerita dan pengalaman. Karena mindset mereka sama: privasi.
Lalu wanita karir yang duduk di meja nomor 9, posisinya berada persis dekat kasir. Sama sepertiku, ia sering berkunjung ke sini sambil membawa laptop dan mulai sibuk begitu selesai memesan minuman. Dilihat dari baju formalnya, dugaanku sepertinya ia seorang pengusaha di salah satu perusahaan terkenal di kota ini. Rambutnya yang panjang terurai lemas di punggungnya, berwarna coklat kemerahan, sepadan dengan garis mukanya yang tirus. Dan dugaanku benar, aku melihatnya keluar dari salah satu gedung yang menjual peralatan kosmetik dan aku tahu kosmetik yang mereka jual bukan sembarang kosmetik.
Ada pun beberapa anak sekolah yang selalu berkunjung ke sini dengan bergerombol. Meski tidak sampai sepuluh orang, tapi empat. Mereka selalu memesan minuman dan snack yang sama. Setelah itu ngobrol sambil sesekali tertawa. Mereka semua anak laki-laki, kadang salah satunya membawa notebook pribadi sambil mengerjakan tugas sekolah. Aku hafal wajah-wajahnya. Misalnya yang membawa notebook pribadi memiliki bentuk wajah bundar dengan kacamata yang selalu bertengger di hidungnya. Temannya yang duduk di sebelahnya berbadan kurus tinggi, kedua bola matanya coklat gelap dan telinganya agak sedikit lancip. Dua orang di hadapannya adalah kembar, wajah berbintik, hidung mancung, postur keduanya tidak lebih tinggi dari si mata coklat. Ekspresi si kembar terlihat nakal, tipe yang senang bercanda dan usil. Sedangkan si mata coklat menanggapi gurauan si kembar dengan semangat dan si wajah bundar sesekali menanggapinya lalu kembali sibuk dengan notebooknya.
Masih banyak lagi orang-orang di sekitar sini yang sering kutemui. Tapi sama halnya dengan di luar, tidak ada satupun dari mereka yang saling menyapa walau sama-sama sering berkunjung. Bisa dibilang aku pribadi yang berpikir kritis. Semua pertanyaan menumpuk di otak, mencoba mencari-cari jawabannya. Orang kota selalu berindividu, aku tahu. Tapi yang kulihat saat ini mereka cenderung cuek. Meskipun aku sering melihat orang tua yang selalu membawa catatan pribadinya itu berkunjung ke sini, tidak pernah kami saling menyapa atau bertukar cerita dan pengalaman. Karena mindset mereka sama: privasi.
Aku kembali melihat ke luar, melamun dengan secangkir capuccino di tangan, menikmati kehangatan yang mulai menjalar sampai ke pergelangan. Tiba-tiba suara seseorang membuat lamunanku buyar. "Maaf, boleh aku duduk di sini? Tempat lain sudah penuh," ujar orang itu, wajahnya terlihat pucat dan penampilannya basah kuyup. Sepertinya ia kedinginan, pikirku. Seluruh tubuhnya terbungkus oleh jas hitam panjang nyaris sampai lutut. Aku melihat sekeliling, hari ini kafe lumayan ramai. Aku menoleh ke arahnya dan menjawab, "Ya, boleh."
"Terima kasih!" ujarnya lalu duduk di hadapanku dan membuka jasnya yang basah kuyup itu dan disandarkannya di kursi sebelahnya. Kini ia hanya mengenakan kemeja lengan pendek warna biru gelap dan celana jeans senada. Seorang pelayan datang menghampirinya dan menanyakan pesanan. Aku kembali menyesap capuccino yang sudah dingin karena AC ketika pandanganku bertemu dengannya. Laki-laki di hadapanku, ternyata ia sudah selesai memesan dan sekarang tengah memandangku dengan tatapan yang mencurigakan.
"Kau sering ke sini, ya?" tanyanya. Kujawab dengan anggukan, lalu bertanya padanya, "Bagaimana kau bisa tahu?" Sambil mengalihkan pandangan ke luar. "Rasanya aku tidak pernah melihatmu makan di sini."
Laki-laki itu menjawab, "Yah, memang tidak sering, tapi aku selalu makan di sini dan setiap kali ke sini pemandangan pertama yang kulihat adalah kau," lugasnya. Aku sedikit terkejut mendengarnya, lalu masih sambil memandang ke luar aku menjawab, "Aku memang suka duduk di sini, kurasa wajar kalau kau sering melihatku karena aku sering datang ke sini." Laki-laki itu kemudian terkekeh, membuatku semakin tidak nyaman berlama-lama di sini. Sebisa mungkin aku tidak ingin bertatap muka dengannya. Dan aku baru sadar kalau ternyata berindividu lebih baik daripada berbicara dengan orang yang tidak kukenal di kota.
"Hei, setidaknya tatap aku, kita kan sedang ngobrol," ujarnya. Jujur, lama-lama aku ingin cepat-cepat keluar dari sini. "Oh ya, aku lupa mengenalkan diri. Namaku Nathan, senang berkenalan denganmu." Tangannya terulur ke arahku. "Dan.. namamu?"
"Hani," jawabku sambil menyambut uluran tangannya. Laki-laki itu tersenyum lebar setelah tangan kami saling bertautan. Baru kusadari warna matanya kelabu, salah satu warna favoritku. "Senang berkenalan denganmu," sambutku hangat. Sepertinya aku mulai tertarik untuk berbicara dengannya. Seorang pelayan membawa secangkir teh panas dan sepiring sandwich padanya. Nathan mengucapkan terima kasih lalu menyesap tehnya sedikit untuk menghangatkan bibirnya yang sudah beku dari tadi.
"Jadi aku benar selama ini, perempuan yang sering kulihat makan di meja 3 adalah orang yang sama," ia kembali membuka percakapan. Sekarang wajahnya sudah tidak pucat lagi setelah minum teh, rona merah mulai terlihat di kedua pipinya yang tirus.
"Kenapa kau memilih duduk di sini? Bukankah orangtua yang duduk di sana juga sendirian? Kau bisa lebih nyaman kalau ngobrol dengannya karena sesama lelaki," tanyaku sambil menunjuk meja nomor 13.
Sambil melahap sandwichnya ia bilang, "Tidak, dia terlalu membosankan untukku. Meski sesama lelaki tapi kalau berbeda umur pasti membosankan." Aku terperangah mendengarnya. Memang benar sih, orang itu tidak pernah bicara kecuali sewaktu memesan makanan lalu kembali sibuk dengan teka-teki silangnya. Aku tidak pernah melihatnya makan bersama istrinya atau anaknya. Ia selalu sendirian. Entah kenapa penilaianku terhadap Nathan berubah. Ia memiliki daya tarik tersendiri meskipun kami baru saja kenalan.
"Alasanku memilih duduk bersamamu karena hanya ada tiga orang yang duduk sendiri termasuk kau. Seperti yang kubilang kalau aku tidak ingin duduk bersama orang tua di meja nomor 13 itu, dan aku tidak tertarik duduk bersama wanita bisnis di meja nomor 9. Kupikir hanya akan mengganggu kesibukannya kalau duduk dengannya." Tanpa sadar aku tertawa.
"Penilaianmu bagus juga," pujiku. Kuakui ia memiliki kemampuan menilai prilaku seseorang dari tingkah lakunya meskipun aku tidak pernah melihat ia makan di sini.
"Jadi, kau suka menyendiri di sini, ya?" tanya Nathan yang sudah menyantap suapan terakhirnya.
"Ya, aku suka menghabiskan waktu senggang di sini. Menurutku sangat menyenangkan, apalagi di luar hujan, membuatku ingin lebih lama di sini sambil menikmati capuccino," kataku. Nathan mengangguk pelan sambil berpikir-pikir, membuatku semakin penasaran ingin bertanya tentang pekerjaannya. "Kau seorang psikolog, ya?" Pertanyaanku cukup membuat matanya terbelalak lebar, lalu ia terkekeh.
"Kenapa berpikir begitu? Tidak, aku bukan psikolog, tapi fotografer," jawabnya. "Pasti menurutmu aku bisa dengan tepat menilai tingkah laku seseorang."
"Ya, kupikir juga begitu," kataku, "tapi unik juga, dari mana seorang fotografer bisa menilai tingkah laku seseorang?" Karena aku mahasiswi fakultas psikolog, jadi menurutku wajar kalau aku bertanya padanya. Nathan mengeluarkan sebuah kamera dari dalam tasnya. "Tentu saja dengan ini," ujarnya. "Kau pikir aku menggunakan apa selain ini? Peramal?"
Aku meringis, "Tentu saja kau menggunakan kamera, maksudku.. ah, bagaimana menjelaskannya, ya..." Aku menggaruk belakang kepalaku yang tidak gatal. Nathan tersenyum, lalu ia mengutak-atik kameranya dan memperlihatkannya padaku. "Lihat ini," perintahnya. Aku melihat gambar seorang wanita berbaju formal dan berambut panjang merah kecoklatan dengan laptop di hadapannya. Ekspresinya terlihat sangat serius, membuat orang segan menemaninya duduk dan mengajaknya ngobrol. Itu wanita karir meja nomor 9.
"Ini kuambil pada hari Jumat seminggu yang lalu. Aku bermaksud mencoba mengambil gambar suasana kafe dan aku mengambil beberapa objek di sini termasuk penjaga kasir yang selalu memainkan handphonenya selagi menunggu tamu yang mau membayar," jelasnya. Kurasa aku mengerti maksud Nathan sekarang. Nathan memperlihatkan hasil karyanya yang lain. Kali ini aku dibuat terkejut olehnya. Itu aku. Sedang melihat ke luar dengan secangkir capuccino di tangan. Persis di meja ini.
"Aku pernah bilang kan, sejak pertama datang ke sini pemandangan pertama yang kulihat adalah kau," ujarnya, "Menurutku ekspresimu menarik, duduk seorang diri tanpa melakukan apapun sambil melihat ke luar. Di mataku seperti seorang gadis yang sedang menunggu kekasihnya yang tak kunjung datang." Aku tak percaya mendengarnya. Aku memang menunggu seseorang waktu itu, tapi bukan pacar. Kami janjian untuk membahas makalah kuliah yang harus dikumpulkan hari Senin. Nathan mengganti fotonya lagi dan muncul gambar diriku yang sedang berbicara dengan laki-laki. Dia Agus, teman kuliahku. Tatapannya beralih dari foto lalu memandangku.
"Jadi dia pacarmu?" tebaknya yakin. Aku tersenyum mendengar tebakannya yang salah.
"Bukan, dia hanya teman kuliah. Kami memang janjian di sini untuk membahas tugas," kataku. "Kau sangat profesional juga menjadi fotografer." Aku mulai melihat foto yang lain. Orang tua yang di meja nomor 13, sepasang kekasih tengah bercengkerama di meja nomor 11, seorang ibu dengan anaknya, wanita karir, pelayan yang sedang melayani tamunya, dan lain-lain. "Jadi kau menilai tingkah laku mereka hanya dengan ini?"
"Bisa dibilang begitu, dari dulu aku menyukai fotografi," jawabnya."Aku melihat semua objek memiliki atmosfer tersendiri. Tidak hanya manusia atau hewan, benda mati pun memiliki nyawa kalau kau memerhatikannya lebih seksama." Aku mengagumi gambar-gambar yang diambilnya. Semua seakan memiliki nyawa. Aku memang tidak begitu mengerti soal fotografi, tapi entah kenapa melihat setiap objek yang ia ambil membuatku paham maksudnya.
"Kau bilang jarang ke sini, tapi kenapa setiap melihat foto-foto ini membuatku berpikir kau sering makan di sini, ya?" Nathan berpikir cukup lama, mencoba menemukan alasan yang tepat, lalu menjawab, "Mungkin karena aku sudah tiga kali makan di sini." Jawaban yang logis, pikirku.
Hujan sudah mulai reda dan hanya beberapa rintik hujan yang tertinggal. Sinar matahari menyelinap masuk dari balik awan. Waktu menunjukkan jam 4 sore, sudah cukup lama aku di sini dari jam 2 siang. "Sepertinya hujan sudah reda, sayang sekali pembicaraan kita hanya sampai di sini. Aku harus kembali ke pekerjaanku sebelum gelap. Senang berbincang denganmu, Hani, kuharap kita bertemu lagi di lain waktu." Nathan memasukkan kamera ke dalam tas dan menghabiskan tegukan terakhir tehnya dengan gerakan cepat. Sebelum membayar ia tersenyum padaku lalu berjalan ke kasir.
Hari itu, pertama kalinya aku berbicara dengan salah satu pengunjung di kafe ini. Ya, dari sekian banyaknya orang di sini. Aku tidak tahu apakah nanti akan bertemu dengannya lagi di sini atau tidak. Karena kami kurang lebih sama seperti orang-orang di luar sana. Aku beranjak bangun dan berjalan menuju kasir untuk membayar, lalu keluar menuju halte bis. Sepertinya tadi itu adalah awal pertemuanku dengan Nathan, orang pertama yang berbicara denganku di kafe.
"Terima kasih!" ujarnya lalu duduk di hadapanku dan membuka jasnya yang basah kuyup itu dan disandarkannya di kursi sebelahnya. Kini ia hanya mengenakan kemeja lengan pendek warna biru gelap dan celana jeans senada. Seorang pelayan datang menghampirinya dan menanyakan pesanan. Aku kembali menyesap capuccino yang sudah dingin karena AC ketika pandanganku bertemu dengannya. Laki-laki di hadapanku, ternyata ia sudah selesai memesan dan sekarang tengah memandangku dengan tatapan yang mencurigakan.
"Kau sering ke sini, ya?" tanyanya. Kujawab dengan anggukan, lalu bertanya padanya, "Bagaimana kau bisa tahu?" Sambil mengalihkan pandangan ke luar. "Rasanya aku tidak pernah melihatmu makan di sini."
Laki-laki itu menjawab, "Yah, memang tidak sering, tapi aku selalu makan di sini dan setiap kali ke sini pemandangan pertama yang kulihat adalah kau," lugasnya. Aku sedikit terkejut mendengarnya, lalu masih sambil memandang ke luar aku menjawab, "Aku memang suka duduk di sini, kurasa wajar kalau kau sering melihatku karena aku sering datang ke sini." Laki-laki itu kemudian terkekeh, membuatku semakin tidak nyaman berlama-lama di sini. Sebisa mungkin aku tidak ingin bertatap muka dengannya. Dan aku baru sadar kalau ternyata berindividu lebih baik daripada berbicara dengan orang yang tidak kukenal di kota.
"Hei, setidaknya tatap aku, kita kan sedang ngobrol," ujarnya. Jujur, lama-lama aku ingin cepat-cepat keluar dari sini. "Oh ya, aku lupa mengenalkan diri. Namaku Nathan, senang berkenalan denganmu." Tangannya terulur ke arahku. "Dan.. namamu?"
"Hani," jawabku sambil menyambut uluran tangannya. Laki-laki itu tersenyum lebar setelah tangan kami saling bertautan. Baru kusadari warna matanya kelabu, salah satu warna favoritku. "Senang berkenalan denganmu," sambutku hangat. Sepertinya aku mulai tertarik untuk berbicara dengannya. Seorang pelayan membawa secangkir teh panas dan sepiring sandwich padanya. Nathan mengucapkan terima kasih lalu menyesap tehnya sedikit untuk menghangatkan bibirnya yang sudah beku dari tadi.
"Jadi aku benar selama ini, perempuan yang sering kulihat makan di meja 3 adalah orang yang sama," ia kembali membuka percakapan. Sekarang wajahnya sudah tidak pucat lagi setelah minum teh, rona merah mulai terlihat di kedua pipinya yang tirus.
"Kenapa kau memilih duduk di sini? Bukankah orangtua yang duduk di sana juga sendirian? Kau bisa lebih nyaman kalau ngobrol dengannya karena sesama lelaki," tanyaku sambil menunjuk meja nomor 13.
Sambil melahap sandwichnya ia bilang, "Tidak, dia terlalu membosankan untukku. Meski sesama lelaki tapi kalau berbeda umur pasti membosankan." Aku terperangah mendengarnya. Memang benar sih, orang itu tidak pernah bicara kecuali sewaktu memesan makanan lalu kembali sibuk dengan teka-teki silangnya. Aku tidak pernah melihatnya makan bersama istrinya atau anaknya. Ia selalu sendirian. Entah kenapa penilaianku terhadap Nathan berubah. Ia memiliki daya tarik tersendiri meskipun kami baru saja kenalan.
"Alasanku memilih duduk bersamamu karena hanya ada tiga orang yang duduk sendiri termasuk kau. Seperti yang kubilang kalau aku tidak ingin duduk bersama orang tua di meja nomor 13 itu, dan aku tidak tertarik duduk bersama wanita bisnis di meja nomor 9. Kupikir hanya akan mengganggu kesibukannya kalau duduk dengannya." Tanpa sadar aku tertawa.
"Penilaianmu bagus juga," pujiku. Kuakui ia memiliki kemampuan menilai prilaku seseorang dari tingkah lakunya meskipun aku tidak pernah melihat ia makan di sini.
"Jadi, kau suka menyendiri di sini, ya?" tanya Nathan yang sudah menyantap suapan terakhirnya.
"Ya, aku suka menghabiskan waktu senggang di sini. Menurutku sangat menyenangkan, apalagi di luar hujan, membuatku ingin lebih lama di sini sambil menikmati capuccino," kataku. Nathan mengangguk pelan sambil berpikir-pikir, membuatku semakin penasaran ingin bertanya tentang pekerjaannya. "Kau seorang psikolog, ya?" Pertanyaanku cukup membuat matanya terbelalak lebar, lalu ia terkekeh.
"Kenapa berpikir begitu? Tidak, aku bukan psikolog, tapi fotografer," jawabnya. "Pasti menurutmu aku bisa dengan tepat menilai tingkah laku seseorang."
"Ya, kupikir juga begitu," kataku, "tapi unik juga, dari mana seorang fotografer bisa menilai tingkah laku seseorang?" Karena aku mahasiswi fakultas psikolog, jadi menurutku wajar kalau aku bertanya padanya. Nathan mengeluarkan sebuah kamera dari dalam tasnya. "Tentu saja dengan ini," ujarnya. "Kau pikir aku menggunakan apa selain ini? Peramal?"
Aku meringis, "Tentu saja kau menggunakan kamera, maksudku.. ah, bagaimana menjelaskannya, ya..." Aku menggaruk belakang kepalaku yang tidak gatal. Nathan tersenyum, lalu ia mengutak-atik kameranya dan memperlihatkannya padaku. "Lihat ini," perintahnya. Aku melihat gambar seorang wanita berbaju formal dan berambut panjang merah kecoklatan dengan laptop di hadapannya. Ekspresinya terlihat sangat serius, membuat orang segan menemaninya duduk dan mengajaknya ngobrol. Itu wanita karir meja nomor 9.
"Ini kuambil pada hari Jumat seminggu yang lalu. Aku bermaksud mencoba mengambil gambar suasana kafe dan aku mengambil beberapa objek di sini termasuk penjaga kasir yang selalu memainkan handphonenya selagi menunggu tamu yang mau membayar," jelasnya. Kurasa aku mengerti maksud Nathan sekarang. Nathan memperlihatkan hasil karyanya yang lain. Kali ini aku dibuat terkejut olehnya. Itu aku. Sedang melihat ke luar dengan secangkir capuccino di tangan. Persis di meja ini.
"Aku pernah bilang kan, sejak pertama datang ke sini pemandangan pertama yang kulihat adalah kau," ujarnya, "Menurutku ekspresimu menarik, duduk seorang diri tanpa melakukan apapun sambil melihat ke luar. Di mataku seperti seorang gadis yang sedang menunggu kekasihnya yang tak kunjung datang." Aku tak percaya mendengarnya. Aku memang menunggu seseorang waktu itu, tapi bukan pacar. Kami janjian untuk membahas makalah kuliah yang harus dikumpulkan hari Senin. Nathan mengganti fotonya lagi dan muncul gambar diriku yang sedang berbicara dengan laki-laki. Dia Agus, teman kuliahku. Tatapannya beralih dari foto lalu memandangku.
"Jadi dia pacarmu?" tebaknya yakin. Aku tersenyum mendengar tebakannya yang salah.
"Bukan, dia hanya teman kuliah. Kami memang janjian di sini untuk membahas tugas," kataku. "Kau sangat profesional juga menjadi fotografer." Aku mulai melihat foto yang lain. Orang tua yang di meja nomor 13, sepasang kekasih tengah bercengkerama di meja nomor 11, seorang ibu dengan anaknya, wanita karir, pelayan yang sedang melayani tamunya, dan lain-lain. "Jadi kau menilai tingkah laku mereka hanya dengan ini?"
"Bisa dibilang begitu, dari dulu aku menyukai fotografi," jawabnya."Aku melihat semua objek memiliki atmosfer tersendiri. Tidak hanya manusia atau hewan, benda mati pun memiliki nyawa kalau kau memerhatikannya lebih seksama." Aku mengagumi gambar-gambar yang diambilnya. Semua seakan memiliki nyawa. Aku memang tidak begitu mengerti soal fotografi, tapi entah kenapa melihat setiap objek yang ia ambil membuatku paham maksudnya.
"Kau bilang jarang ke sini, tapi kenapa setiap melihat foto-foto ini membuatku berpikir kau sering makan di sini, ya?" Nathan berpikir cukup lama, mencoba menemukan alasan yang tepat, lalu menjawab, "Mungkin karena aku sudah tiga kali makan di sini." Jawaban yang logis, pikirku.
Hujan sudah mulai reda dan hanya beberapa rintik hujan yang tertinggal. Sinar matahari menyelinap masuk dari balik awan. Waktu menunjukkan jam 4 sore, sudah cukup lama aku di sini dari jam 2 siang. "Sepertinya hujan sudah reda, sayang sekali pembicaraan kita hanya sampai di sini. Aku harus kembali ke pekerjaanku sebelum gelap. Senang berbincang denganmu, Hani, kuharap kita bertemu lagi di lain waktu." Nathan memasukkan kamera ke dalam tas dan menghabiskan tegukan terakhir tehnya dengan gerakan cepat. Sebelum membayar ia tersenyum padaku lalu berjalan ke kasir.
Hari itu, pertama kalinya aku berbicara dengan salah satu pengunjung di kafe ini. Ya, dari sekian banyaknya orang di sini. Aku tidak tahu apakah nanti akan bertemu dengannya lagi di sini atau tidak. Karena kami kurang lebih sama seperti orang-orang di luar sana. Aku beranjak bangun dan berjalan menuju kasir untuk membayar, lalu keluar menuju halte bis. Sepertinya tadi itu adalah awal pertemuanku dengan Nathan, orang pertama yang berbicara denganku di kafe.
Bersambung.